Paling Timur dari Jawa: Banyuwangi (Bagian 1)

Sebelumnya ini punten-punten dulu kali, ya, soalnya walaupun baru ditulis dan rilis tahun 2022, perjalanan ini aslinya terjadi pada awal tahun 2020 hampir seumur pandemi COVID-19 alias hampir 3 tahun lalu 😆😆😆 Berhubung penulisnya sering terdistraksi--baik dalam berniat maupun beraksi, jadi harap dimaklumi kenapa baru bisa sekarang dibacanya 🙇🙇.

Stasiun Banyuwangi Kota pada dini hari

Lebih jelasnya, perjalanan ini dilakukan pada 6-12 Januari 2020 dengan titik awal dan akhir di Bandung. Oleh karena itu, (syukurnya) perjalanan ini memang tidak dilakukan dalam lingkungan pandemi dan segala peraturannya, yaaa. Tulisan ini akan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama--yang sekarang ini adalah bagian yang membahas tentang destinasi-destinasi yang aku dan teman-teman kunjungi, gimana pengaturan, serta saran-saran pemilihannya. Bagian kedua (yang bisa dicek di sini) menceritakan tentang akomodasi, transportasi, konsumsi--kuliner, keuangan, serta lain-lain yang mungkin tertinggal.

Selamat menikmati dan semoga bermanfaat! 💓💓

kiri-kanan: Sekar, Gamma (alias aku), Farah, dan Adam

Sebagai awalan, kenalan dulu sama aku dan teman-teman seperjalananku, yezz. Dari yang paling kiri ada Sekar, aku--Gamma, Farah, dan Adam. Mangga diingat-ingat karena muka kami akan banyak muncul, xixi.


1. Taman Nasional Baluran

Taman Nasional Baluran ini ada di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, tepatnya di utaranya Banyuwangi. Walaupun masuknya Kabupaten Situbondo, tapi tempat ini gak terlalu jauh dari Banyuwangi, jadi makanya orang-orang biasanya kalo lagi ke Banyuwangi sekalian mampir ke sini. Lokasinya bisa dicari di Google Maps dengan arahan yang mudah diikuti, kok. Ini juga pintu masuknya di pinggir jalan raya nasional Banyuwangi–Situbondo, jadi jalanan ke arah sananya ramai.

Tiket masuk: Rp 15.000 tiket + Rp 1.000,- asuransi, per orang; Rp 10.000,- per mobil

Jam operasional: 07:00 – 17:00 WIB

Baluran ini bisa dijelajahi dengan motor ataupun mobil. Tapi kayaknya mendingan mobil, deh, biar lebih aman gitu jalan-jalannya, hahaha. Jalanannya sendiri cuma terdiri dari 2 jalur dengan masing-masing satu lajur cukup kecil (ukuran 1 mobil). Kecepatan berkendaranya pun dihimbau untuk di bawah 40 km/jam. Karenaa, ya, bisa aja tiba-tiba ada satwa yang lewat.

Ukuran jalannya segini. Berhubung lagi sepi, mari kita jadikan spot foto, xixi. (kanan)

Ada dua spot berhenti untuk sekadar lihat-lihat. Spot pertama yaitu berupa pajangan kepala banteng (yang seringkali dijadikan objek foto), menara pandang, mushola, restoran, dan balai pengelolaan taman nasionalnya. Perjalanan dari gerbang masuk ke spot ini sekitar 30 menit, dengan jalur yang di tengah-tengah hutan gitu, jadi kanan-kirinya pohon. 

Ohiya, yang teliti sambal tengok kanan-kirinya kalo lagi perjalanan. Soalnya bisa aja kita ngeliat kawanan satwa lagi berkehidupan. Kami sendiri waktu itu sempet ngeliat burung merak! Ya walaupun tidak sedang mengepakkan ekornya dan hanya tampak belakangnya aja, sih.

(atas) Kawanan rusa sedang mau menyebrang; (bawah) merak (kotak merah) sedangmasuk kembali ke dalam hutan

Balik lagi ke spot pertama, di spot ini bisa foto-foto sama pajangan kepala banteng, seperti kami berikut:

Aku bersama kepala para banteng

Di sekitarnya pun ada juga pajangan tentang ekosistem dan rantai makanan yang ada di Taman Nasional Baluran ini! Ada juga daftar satwa ataupun tumbuhan yang hidup di sini. Perlu diinget juga untuk hati-hati dalam menjaga barang ya gengs, soalnya banyak monyet yang berkeliaran. Tapi ya selama kita gak ganggu mereka ya gak bakal diapa-apain juga, sih.

Naik ke menara pandang--yang namanya adalah Bekol Tower, kita bakal bisa ngeliat Taman Nasional Baluran dari atas. Dan baru dah tuh kerasa bahwa ternyata luas dan hutan banget, hahaha. Trus kebetulan juga waktu itu pas kami di atas, ada kawanan rusa yang lagi antri untuk nyebrangin jalan. Lucu deh, keliatannya! Waktu itu kami di sana sekitar pukul 10 pagi.

(kiri atas) Jalur menuju menara pandang; (kiri bawah) peta wisata Taman Nasional Baluran; (kanan atas-bawah) pemandangan dari atas Bekol Tower.

Lokasi kedua untuk berhenti adalah Pantai Bama. Wilayah Baluran meluas hingga ke pesisir timur Situbondo. Jadi memang masih ada pantainya. Akses ke Pantai Bama sangat mudah. Tinggal langsung melanjutkan perjalanan dari spot pertama tadi ke arah pesisir (ikutin aja jalan aspal yang tidak dibatasi akses masuknya). Perhatiin, deh! Vegetasinya semakin ke pantai akan berubah! Nah, sesampainya di Pantai Bama, ada tempat parkir kendaraan dan pendoponya juga di pantainya. Pantainya sendiri terdiri atas pantai berpasir yang kondisi gelombangnya tergolong masih sangat aman untuk dijadikan tempat bermain serta pantai dengan hutan mangrove. Untuk menyusuri dermaga mangrove sendiri, ada jalan dan jembatan kayu untuk berjalan kaki. Di ujung jembatan kayu ada pendopo yang bisa digunakan untuk menongkrong (sambil main ludo, misalnya, seperti kami) atau menikmati pemandangan.

Kawasan Pantai Bama dan Dermaga Mangrove

2. Kawasan Pantai Bangsring

Lanjut ke destinasi selanjutnya, kalau dari arah Baluran, Kawasan Pantai Bangsring ini ada di kiri jalan. Dari jalan nasional, akses masuknya cukup kecil, cuma seukuran satu lajur doang, karena di tengah-tengah rumah penduduk gitu.

Foto di "pelabuhan" dengan latar kawasan snorkeling

Tiket masuk: Rp2.000,00 per orang; Rp3.000,00 untuk mobil

Paket alat snorkel: Rp30.000,00 (snorkel dan goggle aja, tanpa fin)

Guide snorkel: Rp30.000,00 per guide

Penyebrangan ke rumah apung untuk snorkel: Rp5.000,00 per orang

Penyebrangan ke Pulau Tabuhan: Rp500.000,00 per kapal (minimal 10 orang)

Toilet: Rp3.000,00-5.000,00 per bilik

Kawasan pantai ini menghadap ke timur, jadi bisa langsung terlihat bayangan Pulau Bali. Kalo pantainya sendiri sebenernya ya standar aja gitu, gak cantik, airnya pun gak biru dan jernih. Yang menjadikan kawasan pantai ini populer salah satunya adalah karena dari tempat ini bisa menyebrang ke Pulau Tabuhan yang mana adalah salah satu spot snorkeling yang cantik dan emang terkenal di sekitar Banyuwangi. Akan tetapi, kami sendiri waktu itu gak nyebrang ke Pulau Tabuhan karena jumlah kami cuma berempat dan tidak cukup kalau harus memaksakan biaya penyebrangan yang tidak bisa ditawar itu, hehehe.

Kawasan Wisata Pantai Bangsring ini menurutku sih cukup maju. Lahan parkir yang tersedia banyak, banyak tersedia kamar mandi dan toilet, mushola, warung makannya pun ada walaupun gak banyak, ada toko aksesoris juga. Daaan, selain menyediakan penyebrangan ke Pulau Tabuhan, pengelolanya juga menyediakan banyak kegiatan air alternatif dengan harga yang lebih terjangkau. Salah satunya adalah snorkeling di sekitar Rumah Apung Bangsring.

Untuk bisa snorkeling di sekitar Rumah Apung tersebut, perlu nyebrang pakai perahu dulu. Dari pengelolanya juga menawarkan guide yang bisa ngasih tau spot-spot yang ada tontonan bawah lautnya. Meski tidak jadi nyebrang ke Pulau Tabuhan, kami akhirnya menyewa peralatan snorkel, guide, dan menyebrang ke rumah apung untuk snorkel di sekitar sana.

Setelah makan siang yang disambi menunggu hujan reda, sekitar pukul 3 sore kami pun menyebrang ke rumah apung untuk memulai snorkeling. Ah iya, rumah apung ini sebenernya gak nyampe 1 km dari bibir pantai. Tapi ya tetep perlu perahu untuk nyebrangnya …. Sebelum terjun ke air, kami diberikan arahan dulu oleh mas guide terkait bagaimana cara snorkel yang benar biar beneran maju wkwk, nanti bakalan ke spot mana dulu, kalau terjadi krama tau lainnya bagaimana, dan beberapa hal lainnya. Kami diajak melihat biota-biota laut seperti ikan badut, bintang laut, terumbu karang, dan beberapa lainnya yang aku sendiri sejujurnya lupa, hehe. Tidak hanya melihat dari permukaan, kami juga diajak untuk “menyelam” ke dasar laut untuk melihat biota-biota laut itu dengan lebih jelas, setelah diberi tahu cara menyelam yang baik dan benar, tentunya. Selain itu, di samping rumah apung juga ada penangkaran hiu dan penyu, yang kami juga waktu itu diperbolehkan untuk berenang di dalamnya. Perlu diperhatikan bahwa di perairan ini banyak ubur-ubur yang transparan, ya, teman-temann. Jadi harap hati-hati ketika snorkeling dan kalau bisa pakai pakaian untuk berenangnya yang panjang dan menutup badann!

Capek abis snorkeling, jadi nyebrang baliknya pakai perahu, hehehe.

Akan tetapi, perlu diakui bahwa pemandangan snorkeling di sekitar rumah apung sebenarnya tidak sebegitu bagusnya, selain itu airnya juga cukup keruh. Hal itu mungkin juga terjadi karena kalau dari informasi mas guide-nya, waktu terbaik untuk snorkeling di sana adalah di pagi hari, sekitar jam 7-8 pagi, karena perairannya sedang jernih-jernihnya. Aku sendiri juga tidak terlalu merekomendasikan untuk snorkeling di sore hari, karena ombaknya cukup besar. Jadinya akan cepat lelah karena harus mengayuh lebih kuat, heuheu. Selain itu, warung-warung di Kawasan Pantai Bangsring ini juga tutup sekitar jam 5 sore, karena hari sudah menjelang malam. Sehingga akhirnya kami sedikit kesulitan mencari toilet yang masih buka, dan terburu-buru membilas badan karena diburu-buru bapak penjaga.

Menurutku kalau kalian memang ingin bermain air, Kawasan Pantai Bangsring ini layak dikunjungi, tapi sebaiknya di pagi hari agar bisa mendapatkan waktu terbaik. (Aku nulis tentang rekomendasi waktu berkunjung ke Pantai Bangsring di sini!) Selain karena Kawasan pariwisatanya terurus dengan baik dan variasi kegiatan yang bisa dilakukan banyak, pelayanan di sini juga cukup baik. Harga berbagai fasilitas yang resmi dikelola pihak pengurus tertera dengan jelas pada papan yang bisa dilihat di loket, jadi tidak ada tipu-tipu yang dilakukan semena-mena oleh para pengurus. Snorkeling ditemani guide kurasa juga tidak buruk, karena masnya memang tahu tentang Kawasan tersebut, dan bisa menuntun kita dengan baik. Selain itu juga masnya inisiatif menjelaskan tentang ini dan itu, dan mengajak kami mencoba berbagai hal. Ahiya, bagi kalian yang sudah punya peralatan snorkel sendiri dan hanya ingin main-main di sekitar Kawasan pantai, tetap ada biaya retribusi yang perlu dibayarkan, tapi aku lupa pastinya berapa, sekitar Rp 10.000,- kalau tidak salah.


3. Kawah Ijen

Kawah Ijen, atau tepatnya Kawah Gunung Ijen, menduduki dua kota yang berbeda yaitu Banyuwangi dan Situbondo. Sekitar 40 km dari pusat kota Banyuwangi. Bisa ditempuh lewat Jl. Kalibendo atau Jl. Raya Licin sebelum akhirnya masuk ke Jl. Kawah Ijen. Sekitar 10-15 kilometer pertama akan ada di sekitar pemukiman penduduk, hingga keramaian terakhir ada di Kecamatan Licin. Setelah titik tersebut, jalanannya akan terdiri dari 2 jalur dengan masing-masing satu lajur (ukuran 1 mobil), dan pemandangan sekeliling adalah hutan lebat tanpa penerangan yang cukup. Pastikan melalui tempat ini dengan bensin yang cukup, karena akan sulit menemui penjual bensin, apalagi di malam hari.

Pendakian ke Kawah Ijen sendiri baru dibuka pukul 1 dini hari, jadi banyak orang yang baru berangkat ke basecamp sekitar pukul 11 malam. Kami sendiri waktu itu berangkat dari kota cukup awal, terlalu awal malah mungkin, sekitar jam 8 malam. Sehingga hanya mobil kami lah yang ada di jalanan itu, mungkin bertemu dengan kendaraan lain hanya 2–3 kali. Daaann, meski jadinya memang bisa beristirahat di basecamp pendakian lebih dulu, sepertinya aku tidak ingin merekomendasikan ke-awal-an ini, karena jalanannya sepi banget. Tapi kalau memang tetap mau seawal itu, ya gapapa juga sih …, toh jalur ke basecamp hanya satu, jadi tidak akan membingungkan.

Tampak depan gerbang Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Ijen

Kami pun sudah sampai di basecamp pendakian sekitar pukul 10–11 malam. Begitu sampai, lahan parkir masih sepi. Kami akhirnya memilih untuk parkir di lahan kosong depan gerbang masuk Taman Nasional Ijen persis dan kemudian beristirahat sejenak. Ahiya, ketika baru datang, para pengunjung akan langsung dihampiri oleh para penjual peralatan pendakian. Yang dijual pun bermacam-macam, seperti senter, masker uap, sarung tangan, dan kupluk. Yaa, sekalipun ada yang jual, akan lebih baik kita persiapkan sendiri dari awal, bukan? Sebagai informasi, kondisi sekitar Kawah Ijen pukul 10-11 ini dinginnnn dan akan semakin dingin pada dini hari nantinya.

Tiket masuk Taman Nasional Kawah Ijen: Rp10.000,- per orang (kendaraan gak boleh masuk)

Toilet di sekitar gerbang Taman Nasional Kawah Ijen: Rp5.000,- (akhir pekan: Rp7.500,00)

Sarung tangan: Rp10.000,-

Senter: Rp20.000,-

Masker gas: Rp20.000,-

Kupluk: Rp10.000,-

Semakin dekat jam 1 dini hari, parkirannya semakin ramai. Sekitar jam setengah 1 dini hari, kami pun bersiap untuk masuk dan memulai perjalanan ke Kawah Ijen. Gak perlu bawa banyak barang. Selain peralatan menerjang dingin dan bebatuan, ada baiknya perbanyak bawa minum, karena bakalan susah cari minum di sana. Setelah siap, kami pun masuk ke gerbang dan beli tiket di loketnya. Untuk WNI, harga tiket masuk Kawah Ijen itu Rp 5.000,- per orang, plus kalo bawa mobil tiketnya Rp 10.000,- per mobilnya. Tergolong murah gak sih, aku sendiri aja sempet kaget, hahaha.

Dari loket, tinggal ikutin aja orang-orang pada jalannya ke mana. Kebetulan waktu itu pengunjung Kawah Ijen lagi cukup ramai, jadi kami yang waktu itu (awalnya) gak pake guide pun masih bisa menemukan jalan dengan ngikutin orang, hehe. Sekitar 2–2,5 jam pertama, jalanannya bakal nanjak terus, karena kita bakal nyampe ke puncak gunungnya dulu, sebelum akhirnya turun ke kawahnya. Dibilang treknya susah, sebenernya enggak, karena jalanannya jelas, meskipun ada yang aspal atau kerikil, masih tergolong jelas. Pas nyampe di puncak, bakal ketemu sama para penjual senter, kupluk, masker, dan beberapa lainnya untuk terakhir kali. Kami akhirnya menyewa masker dengan harga Rp 25.000,- per masker, selisih Rp 5.000,- dengan harga kalau beli di bawah. Mungkin kalau bisa berbahasa Jawa dan jago nawar, bisa sama harganya, tapi kami waktu itu gak pake nawar, hehehe.

Perjalanan turun ke kawah bisa dibilang terjal dan ekstrem. Ditambah lagi dalam kondisi gelap dan tidak ada jalur yang jelas sehingga memungkinkan untuk membuat salah ambil jalur dan kesasar. Cukup berbahaya semisal tidak ada guide ataupun rombongan yang "diikuti". Tapi sebenernya kalau ramai (buanget), bakal aman-aman aja, sih. Sangat direkomendasikan untuk pakai sepatu yang tidak licin, sarung tangan, serta senter yang sebaiknya bentuknya headlamp. Hal ini karena jalanan berbatu, seringkali tangan butuh untuk berpegangan pada batu di sekitarnya sehingga butuh perlindungan. Perjalan turun ini sekitar 1-1,5 jam. Trek perjalanannya ini cuma 1 lajur, jadi kalau rame ya harus antre. Sepanjang perjalanan juga kita bisa ketemu dengan para penambang! Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa karena kawahnya masih aktif, jadi uap serta bau belerangnya beneran bisa sangat menyengat. Jadi keadaan apapun wajib masker yaaa, terutama masker yang gas. Aku ketika foto-foto di bawah sempet lepas sebentar dan cepet banget bikin sesak. Tapi ini info dikit sih, di antara kami ada yang asma, alhamdulillah masih bisa kuat (menguatkan) diri untuk perjalanan ini!

Kalau tidak salah, kami sampai di lokasi menonton api biru itu sekitar pukul 4 pagi. Kesan pertamanya ya jelas wuaw lah yaa, ada api di alam yang warnanya biru! Beda dengan yang diliat sehari-hari di kompor, haha. Akan tetapiii, sayang sekali ketika kami di sana itu apinya tidak terlalu berkobar sehingga zuzur cukup sulit melihatnya. Entah karena memang sedang musim hujan atau kaminya aja yang terlambat. Sembari melepas lelah sambil mendokumentasikan api biru, jangan sampai lupa juga untuk dokumentasi diri sendiri bersama si apinya!! Nah, sebaiknya sebelum ke sini pelajari dulu gimana caranya ambil gambar dalam kondisi gelap yang bagus. Biar apinya kelihatan, kitanya pun kelihatan juga. Tidak seperti aku, heheheh.
Sekarang saya bisa dengan bangga bilang saya sudah pernah melihat api biru Ijen!

Setelah (puas) melihat api biru, tahap selanjutnya adalah pulang--alias naik ke atas. Kalau berangkat ke kawah tadi itu gak terlalu melelahkan, justru perjalanan pulangnya yang capeqq. Udah mah kita pengenny leyeh-leyeh, eh masih harus naik bukit berbatu. Medannya masih berbatu dan harus pegangan, tapi karena udah mulai terang, jadi gak terlalu menyeramkan. Perjalanan naik ini sekitar 1,5-2 jam. Poin pentingnya adalah gak ada tempat/ruang cukup luas untuk berhenti apalagi sholat, terutama kalau ramai. Oleh karena itu, memang sebaiknya lebih cepat naiknya biar masih bisa kekejar sholat subuh di atas bukit. Pemandangannya cantikk, kita dikelilingi banyak bukit lain. Ohiya, ketika sampai di atas ini waktunya kita mengembalikan barang-barang sewaan (masker, sarung tangan, headlamp, dll) juga membayar guide (bila perlu). Di atas ini juga banyak penjual-penjual kerajinan dari batu. Untuk harga aku kurang tau, sih, hehe. Dari puncak bukit ini, sebenernya "tinggal" jalan turun lagi ke gerbang taman nasionalnya. Akan tetapiii, barangkali ada yang gak kuat, tenang, ada jasa angkut pakai gerobak yang dijajakan oleh bapak-bapak di sekitar puncak bukit. Lagi-lagi, kalau untuk harga aku kurang tau tapinya.
(kiri-atas) Pemandangan Kawah Ijen dari atas, yang kecil-kecil di pojok kiri itu manusia, lho! Kita awalnya dari sana! (kanan-atas) Kurang lebih begitu lah gambaran treknya. Batu tanpa tapakan jelas; (kiri-bawah) Para penjual ukiran batu; (kanan-bawah) gerobak-gerobak yang selain untuk mengangkut batu juga untuk mengangkut wisatawan!

Ohiya, efek dari perjalanan Kawah Ijen ini (ditambah Baluran dan Pantai Bangsring) bisa bikin kita hari selanjutnya tepar hampir seharian. Barangkali bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun rencana perjalanan 🙏🙏

4. Teluk Hijau dan Taman Nasional Meru Betiri

Kalo udah nyampe Banyuwangi, wajibbb banget "sekalian" mampir sini, sih. Bukan yang "tinggal belok", emang, tapi sayang banget semisal gak ke sini. Soalnyaaaaa buagus buangetttt~~~~ Teluk Hijau pantainya bersiiiih, airnya biruuu, suasana rindang, cantik banget lah pokoknya. Tipe pantainya itu yang berpasir, tapi ada bebatuannya juga. Terus, kalo gak salah di Taman Nasional Meru Betiri ini sebenernya juga ada penangkaran penyu dan bisa melihat mereka menelur, tapi waktu itu kalo gak salah kami datang pas bukan lagi musimnya dan emang gak menyanggupi aja jalan malam maupun dini hari. Siapa tau mau sekalian nginep atau gimana xixi.

Cantik banget kaaan? Sampe bingung sendiri harus pilih foto yang mana aja, hahaha

Bicara tentang akses ke Teluk Hijau, dari jalan nasional Banyuwangi-Jember, jalan ke selatan dan di antara pedesaannya itu emang rada lama. Terus, entah memang jarang atau lagi gak banyak aja, waktu kami mau sarapan di sekitar sana itu warung rumahannya gak banyak yang buka pagi. Jadi saran aja kalau bisa bawa bekal atau sarapan duluan ya mangga. Perlu diperhatikan bahwa jalan di pedesaan dari jalan nasional itu banyak yang rusak, terutama mendekati Taman Nasional Meru Betiri. Selain gak terlalu bagus juga minim penerangan.

(kiri) Gerbang masuk Taman Nasional Meru Betiri; (kanan) Papan Tarif Masuk dan Kegiatan di Taman Nasional Meru Betiri

Untuk bisa mencapai Teluk Hijau, akses kendaraan yang memungkinkan dan aman itu ada di Pantai Rajagwesi. Pantai Rajagwesi ini sendiri sudah masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Tiket masuknya cukup di pintu masuk taman nasionalnya saja. Kami parkir di Pantai Rajagwesi, kemudian (ditawarkan) naik perahu oleh nelayan setempat dan menuju Teluk Hijau lewat air. Oh tapi pembayaran perahunya ini emang lewat petugas resmi taman nasional di pos Pantai Rajagwesinya, dengan harga yang jelas terpampang. Jadi gak perlu khawatir dikadalin 👌👌 Untuk naik perahunya gak lama, sekitar 5 menit, tapi gelombangnya tinggi, yah, haha. Namanya juga selatan Jawa, langsung Samudra Hindia, gitu. 

(atas) Proses "peluncuran" perahu oleh para nelayan; (kiri-bawah) di perahu!; (kanan-bawah) lintasan naik perahunya

Pemandangan awal ketika di perahu dan baru turun di Teluk Hijau

Nah, ternyataaaa selain dari Pantai Rajagwesi, sebenernya ada akses lain untuk menuju Teluk Hijau yaitu jalan kaki lewat bukit. Titik terakhir bisa parkir kendaraan itu di suatu warung (WGWG sangat menjelaskan), tapi gatau tepatnya di mana, tapi yang jelas bukan di Pantai Rajagwesi. Kami sendiri baru tau ketika HARUS jalan pulang. Iya ini keharusan karena kami gak janjian lagi sama bapak perahunya untuk dijemput jam berapa HAHAHHAHA, hadeh. Perjalanannya bagi kami itu sekitar 1-1,5 jam. Tapi, jalur untuk jalan kakinya terbilang cukup jelas kok, walaupun naik, HHHH. Ada tapakan-tapakannya jelas, sekalipun gak ada penerangan (kayaknya gak boleh juga gak sih, kalo ke sini malam-malam?). Semisal kita menghadap ke Teluk Hijau, arah jalan kakinya itu ada di bagian kanan. Coba aja masuk ke antara tumbuhan, nanti bakal ada jalan setapaknya. Terus kalau mau mampir ke Pantai Batu itu juga bisa kayaknya. Soalnya masih sejalur.

Jalur pejalan kaki~~

Yang perlu diwaspadai ketika di Teluk Hijau adalah monyet :). Pemandangan indah, sepi, tapi bisa jadi karena sepinya itu, monyet-monyet di sana jadi gak terbiasa ada pengunjung. Sekalinya kita ninggalin barang, diambil deh :))) Kami waktu itu harus rebutan roti sama monyet, HAHHA, malu euy kalo diinget. Tapi soalnya perbekalan kami kala itu gak banyak :((

Btw di Pantai Rajagwesi itu sebenernya ada warung, parkiran, pokoknya rame karena emang dijadikan cukup banyak kapal nelayan berlabuh. Kapal yang kecil-kecil aja. Ada masjid yang menggelar jumatan juga di sekitar pantai ini.


5. Pantai Pulau Merah

Nah, enaknya itu kalau ke Teluk Hijau pagi, sorenya bisa ke Pantai Pulau Merah. Niat awalnya sebenernya kami gak mau mampir, tapi karena berkedok SEKALIAN berhubung udah di Meru Betiri, jadi lah kami ke sana. Dibanding Pantai Rajagwesi--apalagi Teluk Hijau, Pantai Pulau Merah ini jauuuuh lebih maju untuk urusan pariwisatanya. Parkiran bagus dan tertata, ada mushola, ada kios-kios oleh-oleh, banyak warung makan, bahkan sampai ada kursi-kursi pantainya juga! Akan tetapi, untuk masuk ke kawasan Pantai Pulau Merah ini dikenai biaya Rp8.000,00.  Ya gapapa, sih, tergolong murah. Kami waktu itu makan di salah satu warung seafood rumahan di sana. Secara rasa yaaa enak-enak aja, sih, standarnya ikan bakar, dan secara harga juga kalo gak salah masih wajar-wajar aja.

Fasilitas di kawasan Pantai Pulau Merah
Pantai Pulau Merah ini tipe pantai berpasir dengan garis pantai yang panjaaaaaang banget. Jadi kalaupun ada spot yang ramai, kita bisa langsung cari spot lain yang lebih sepi gitu. Ya walaupun emang jalannya jadi harus lebih jauh sih, haha. Kenapa enaknya ke pantai ini pas sore? Karena pantai ini menghadap barat, jadi sangat sesuai untuk menghabiskan sore dan menikmati senja 😌😌. Dengan pantai yang panjang dan cukup lebar, serta gelombang yang gak terlalu tinggi, banyak banget hal yang bisa kita lakukan! Mulai dari jalan-jalan biasa, main pasir, belajar surfing ala-ala! (iya ada yang nyewain papannya), duduk-duduk, sampai main layangan seperti kami, xixixi. Ini tapi layangannya beli di kota Banyuwangi ya, bukan di sini wkwkwk.

Kami dan Niki di Pantai Pulau Merah kala sore hari!

6. Taman Sritanjung dan Blambangan

Sebenernya di sini gak ada apa-apa, sih. Sekadar taman biasa aja tempat orang-orang ngumpul dengan ada gapura ala candi gituu, tapi yang ini warna putih. Dan yaudah gak bisa masuk ngelewatin gapuranya juga, hehe. Tetapi di dekat kedua taman ini ada spot jajanan malam gitu. Jadi ramai orang-orang makan dan jajan. Selebihnya, udah, sih. Ohiya, di Banyuwangi ini ramainya hanya sekitar sampe jam 8-9 malam. Sepengamatanku waktu itu juga toko-toko (selain toko makanan) juga gak banyak yang buka sampe malam. Jadi kalau ada barang yang perlu dibeli, sebaiknya segera, ya.

Jujur ini lupa di taman yang Sritanjung atau Blambangan .... (HEHE).

7. De Djawatan Forest, Benculuk

Destinasi ini bisa dipertimbangkan ketika lagi menuju Meru Betiri, karena emang (bisa) sejalur. Tempat ini muncul di salah satu rekomendasi destinasi wisata di (sekitar) Banyuwangi. Kebetulan, kami waktu itu sampai di sini masih pagi--menuju pukul 6 pagi, dan ya ... belum buka dan belum ada apa-apa. Bahkan pos petugas tempat tiket aja belum ada orangnya WKKWKWK. Tempat ini mungkin cocok kalau memang tujuannya untuk nongkrong-nongkrong dalam waktu cukup lama. Karena rindang banget (makanya namanya forest?), rumah pohon, banyak kursi, ada restorannya juga kalo gak salah, serta tempat main anak-anak (ini juga kalo gak salah). Tapi berhubung kami waktu itu tujuan utamanya adalah Meru Betiri dan ingin mengejar itu, jadi yaudah tanpa menghabiskan banyak waktu, kami hanya sekadar foto-foto dan langsung cabut.

Berbagai titik di De Djawatan - Benculuk, Banyuwangi

Saran-saran~

DESTINASI/KEGIATAN
  • Desa Wisata Adat Osing. Tempat ini sudah masuk ke rencana kami kala itu karena searah dengan jalan pulang turun dari Kawah Ijen ke arah kota. TAPIIIIII lah dalah ternyata desanya sudah terbengkalai dan tidak terawat gitu. Dari pos masuk ke parkirannya aja udah gak ada yang jaga dan parkiran kotor. Jalan masuk menuju desanya (perlu agak ke atas gitu) itu juga gak meyakinkan. Jadi akhirnya kami batalkan aja waktu itu. Selain juga karena kami capek banget habis dari Ijen, sih, HEHE. Tapiii, jujur sangat disayangkan kalau desa wisata adat ini beneran "mati", sih. Soalnya aku baca-baca dari yang dibahas orang, kegiatan di sini bisa menarik banget! Mulai dari belajar tari, ada kopi khas sini, juga bisa keliling-keliling rumah adat :((((
  • Air Terjun Jagir. Ini juga sudah sempat masuk ke daftar destinasi yang bisa dikunjungi yang kubuat. Sebenernya kalau dari peta, ini letaknya sejalan dengan Kawah Ijen. Namunn, lupa kenapanya, tapi bisa jadi salah satunya karena kami udah kecapekan sih dari Ijen, hehe.
  • Sekalian nyebrang aja ke Bali! Kalau punya waktu luang dan ada di sekitar kota atau ke utara kota sedikit, sekalian aja nyebrang! Ini salah satu yang sangat aku sesalkan dari perjalanan Banyuwangi kala itu. Karena kebetulan kami nginep TEPAT di seberang pelabuhan dan ada waktu luang. Tapi sayang banget gak dimanfaatkan :))))) Sebenernya untuk jam penyebrangannya bolak/balik aku juga gatau, tapi tiketnya per orang hanya sekitar 10 ribu rupiah!
  • Patung Penari Banyuwangi. Aku sendiri gak sempet ke sana karena baru taunya malah dari ibu dan pas udah pulang, heheeee.
PENYUSUNAN ITINERARY
Kalau kami--lebih ke Adam, sih sebenernya (haha) dulu, ngelompokkin destinasi dan beberapa tempat makan itu berdasarkan area. Contohnya Baluran, Bangsring (walaupun ini impulsif, sih), dan Ijen itu dalam satu hari. Karenaaa, mereka deketan/searah. Waktu itu kami berangkat dari kota, jadi ke utaraaaa dulu sampe Baluran, terus baru ke selatan lagi ngelewatin Bangsring, tempat makan yang ditarget, sampe akhirnya ke Kawah Ijen. Begitupun pas mau ke Meru Betiri. Melihat ada De Djawatan Forest, mampir, melihat Pantai Pulau Merah, mampir. Kalo bisa siiii jangan banyak mikir (kecuali emang ada urgensi tertentu kayak jadwal kereta, dll). Nikmatin dan ambil aja semua kesempatan karena "mumpung", hahahhaah.

Berikut aku lampirkan screenshot tempat-tempat yang kami kunjungi kala itu:

Peta destinasi kunjungan Banyuwangi

Pada hari pertama kami mengunjungi Baluran (pagi-siang), Bangsring (siang-maghrib), Ijen (malam-pagi). Iniiiii jujur melelahkan sih. Karena kakinya kan capek setelah snorkeling, terus harus langsung disuruh jalan di Ijen. Alhasil hari kedua kami "hanya" diisi dengan makan, tidur, dan berkunjung ke kedua taman. Kemudian setelah subuh hari ketiga, kami segera bergegas meluncur ke Meru Betiri dengan mampir ke De Djawatan Forest.

Bekasi-Bandung, 5 Januari 2021-27 Oktober 2022 (HAHAHA lama banget)

Comments