Sebagian dari Garut

Berjarak 2 jam dari Bandung adalah pusat kota dari Garut. Tapi sebelum kita ke sana, ayo mampir sebentar ke ujung selatan dari Kabupaten Garut, Pantai Santolo.

Perjalanan ini dilakukan di tengah-tengah pekan UAS, Bersama dengan orang-orang ini:
Foto di bukit terakhir sebelum turun menuju pantai.
Dari kiri ke kanan: Adam, Ainun, Salsa, Farah, dan akuuu
8 Desember 2019

Tujuan pertama kami adalah Pantai Santolo, yang jaraknya kurang lebih 150 km dari Bandung atas. Tepatnya daerah Dago. Setelah berbagai huru-hara, perjalanan akhirnya kami mulai sekitar jam 1 pagi, dengan mengambil rute lewat Baleendah, Pangalengan, dan Situ Patenggang. Ahiya, rute ini juga ngelewatin Sunrise Point Cukul, mungkin bisa dipertimbangkan untuk mampir melihat sunrise. Berhubung kami mau ngejar menikmati pagi di pinggir pantai, jadi kami gak mampir mana-mana. Situ Patenggang juga hanya kami nikmati dari dalam mobil dan dalam kegelapan.

Sekadar info, rute menuju Santolo lewat Situ Patenggang ini akan jadi jalanan melewati bukit dan pegunungan. Jadi bakalan naik-turun dan berlika-liku. Jalanannya 1 lajur di masing-masing jalur, tanpa penerangan, keramaian rumah penduduk juga gak begitu sering. Meski begitu, kadang-kadang ada kendaraan yang lewat, ya walaupun tetep bakalan ada momen dimana satu jalan cuma sendirian, tapi mungkin juga karena kami jalannya dini hari sih, ehehe.

Hanya menyempatkan berhenti untuk sholat subuh, akhirnya kami sampai di... gak tau juga sebenernya apa namanya. Tapi itu tanjakkan terakhir dan paling tinggi, yang dari atas sana bisa kelihatan garis pantai selatan. Ya walaupun agak kurang jelas ya, tapi foto pertama itu kami di atas bukit dengan latar pantai selatan, sebenernya. Setelah melanjutkan perjalanan sedikit, kami sampai di tebing yang di bawahnya langsung pantai selatan. Berbekal sarapan yang sudah disiapkan Farah, kami akhirnya sarapan di sebuah gubuk yang kosong, ditemani dengan deburan ombak. Kayaknya sih ya, ujung tebing ini sebenernya tempat wisata, soalnya ada yang kemah-kemah pake tenda gitu. Tapi berhubung waktu itu masih pagi ya, sekitar jam 6, akhirnya kami santai-santai aja di sana dengan gratis.

Piknik dulu!

Gak jauh dari tebing itu, akhirnya kami masuk ke kawasan wisata Pantai Santolo dan SayangHeulang. Yang ternyata sebelum ke sana kita bakal ngelewatin LAPAN dulu, ya walaupun cuma numpang lewat wkwkk. Tiket masuk kawasan wisata Pantai Santolo dan Sayangheulang seharga Rp 5.000,- per orang, sesuai dengan yang tertera di karcis, ditambah dengan tiket masuk mobil Rp 10.000,- per mobilnya. OHIYA, apresiasi dulu buat pengurusnya! Karena per rombongan bakalan dapet 1 stiker bertuliskan Pantai Santolo, secara gratis! Tapi ya bakal jadi rebutan buat satu rombongan itu, karena cuma dapet 1, seperti yang terjadi di antara kami.

Gerbang masuk daerah wisata Santolo dan Sayangheulang, tempat bayar tiket dan dapat stiker

Stiker gratis

Setelah ngelewatin gerbang masuk, dari situ terserah sebenernya mau parkir dimana. Tapi kami memilih untuk menelusuri jalan sampai ujung, dan parkir di depan masjid jami'. Setelah membereskan barang, kami pun mulai berjalan menelusuri pantai. Karena kami emang berkunjung di hari minggu, gak heran kalau pantainya termasuk ramai. Ohiya, pesisir pantai yang pertama bakal ditemuin itu bukan langsung Pantai Santolo, tapi Pantai Sayangheulang. Di Pantai Sayangheulang ini yang banyak wahananya. Mulai dari papan ala-ala buat bantu ngambang, sampai banana boat dan pizza (eh apa sih yang kayak banana boat tapi versi kotak itu maksudnya). Untuk harga wahana-wahana itu, kurang tau, soalnya gak nanya.

Di sepanjang pantai itu, bakal banyak mamang-mamang yang nawarin untuk nyebrang ke Pantai Santolo pake perahu, karena Pantai Santolo ini emang gak nyambung sama Pulau Jawa gitu sebenernya. Biaya penyebrangan yang ditawarin itu mulai dari Rp 2500-5000 untuk PP. Awalnya kukira emang wisata disini murah-murah. TAPIIII, ternyata, harganya segitu, karena nyebrangnya emang cuma sebentar Sebentar yang literally sebentar. Bahkan gak nyampe 1 menit. Kayak cuma nyebrangin sungai gitu… Selain nyebrang ke Pantai Santolo, bakal ditawarin juga untuk naik perahu ke tengah laut (gak tengah-tengah banget juga sebenernya…), sekitar 20-25 ribu rupiah. Tapi maap-maap ni sebelumnya, tapi harga segitu sebenernya menurutku… gak worth it, karena ya emang cuma gitu doang.

Keadaan di atas perahu, bonus foto mamang

PS:Setelah nyebrang ke Pantai Santolo, jangan lupa untuk janjian sama mamang perahunya, mau nyebrang pulang jam berapa. Jangan sampai seperti rombongan kami, yang akhirnya harus bayar lagi ke mamang lain, karena gak ketemu sama mamang berangkat.

Oke. Begitu nyampe di Santolo, hal yang pertama dilakuin adalah bayar lagi, heuheuheu. Tiket masuk Santolo ternyata beda lagi dan dikenai harga Rp 3.000,- per orangnya. Setelah selesai masalah pertiketan, saatnya lihat-lihat ke ujung pantai. Pantai Santolo ini ekosistemnya bukan pasir, btw. Tapi karang + rumput laut gitu. Jadi, hati-hati yang pake sendal, soalnya licin. Ohiya, disarankan untuk jalan-jalan di Santolonya pagi-pagi. Walaupun dari pagi juga udah kenceng, tapi makin siang ombaknya bakalan makin kenceng lagi, dan waktunya pasang juga.

Tiket masuk Santolo

Gerbang masuk Pantai Santolo


Pantai Santolo di pagi hari

Di Pantai Santolo ini, bakalan banyak bolong-bolong gitu daratannya. Dan hati-hati karena di bolongannya itu biasanya ada ekosistem kecil yang isinya banyak banget hewan-hewan laut yang menggemaskan. Mulai dari keong-keongan, bintang laut, teripang, sampe bulu babi!

Bintang Laut di Santolo

Salah satu "bolongan", yang isinya ada bermacam-macam hewan. Kalau mau nyoba nyebur, hati-hati, soalnya ternyata tidak sedangkal yang dikira.

Aku, di ujung Pantai Santolo

Ohiya, yang unik dari Pantai Santolo adalah karena kebanyakannya ditumbuhi rumput laut, pantainya malah jadi kayak padang rumput! Nyegerin deh liatnya! Selain pemandangan padang rumput, di Santolo juga ada mercusuar, yang sayangnya pas kami ke sana gak dibuka, dan kami gak mampir juga. Kata mamang perahu sih biasanya dibuka kalau lagi banyak pengunjung gitu. Trus juga ada batu di tengah pantai. Lucunya, di atas batu itu, ada bendera yang dikibarin, tapi bukan bendera merah putih, melainkan bendera PDIP...

Foto di batu yang nanti ketika pasang akan dikelilingi air

OHIYA SATUUU LAGI.
Di padang rumput, ada kawanan burung yang lagi "parkir" disana, yang kalo dideketin mereka bakal terbang satu rombongan gitu. Seru deh, ngeliatnya!

Kawanan burung yang terbang ketika didekati

Setelah puas jalan-jalan, kami pun mampir ke salah satu gubuk dan warung yang ada di pinggir pantai. Tebak apa yang kami lakukan di sana? Tidur siang. EHEHEHEHE. Mohon dimaklumi berhubung anginnya sepoy-sepoy dan belum sempet istirahat. Kami tidur siang sampe sekitar jam 2 siang. Setelah abngun, kami pun jalan lagi ke warung-warung di sekitar Santolo. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk makan siang dengan mie instan. Harga mie instan berkisar dari 7 - 15 ribu rupiah, dengan variasi single, double, dan pakai telur/tidak. Nasi putih juga ada, kalau gak salah 4 atau 5 ribu gitu. Ohiya, selain mie instan, sebenernya ada juga ikan laut. Tapi harganya di atas 50 ribu, untuk 1 ekornya. Ikan apa-apanya aku lupa, ehehe. Selesai makan dan sholat, waktu sudah semakin sore. Sekitar jam setengah 5 sore. Kami pun jalan-jalan lagi ke arah Pantai Santolo dan menghasilkan foto ini:

Foto dengan latar belakang Santolo dalam keadaan pasang

Sebenernya niatnya mau sekalian lihat sunset di Santolo, tapi ternyata semakin sore, Santolo semakin tidak berpenghuni, karena orang-orangnya pada nyebrang dan gak nginep di Santolo. Jadi daripada akhirnya gak bisa nyebrang pulang, kami pun akhirnya menghabiskan sore di sepanjang Pantai Sayangheulang. Walaupun gak bagus-bagus amat, tapi hasil sunset-nya kurang lebih kayak gini:

Foto menuju sunset deng ini, soalnya mataharinya belum benar-benar turun, heuheu.
Pantai Sayangheulang di sore hari

Habis melewati sunset sambal sedikit bermain air, kami pun bersih-bersih badan dan menunaikan ibadah sholat maghrib dan isya' di Masjid Jami'. Ahiya, selama di kawasan Santolo, jangan berharap banyak tentang air tawar. Karena yang ada hanya air payau, bahkan warung-warung di Pantai Santolo beneran asin. Sedikit info bagi yang ingin membeli pakaian-pakaian ala pantai. Salah satu dari kami waktu itu membeli celana bahan di salah satu toko pakaian, seharga Rp 50.000,-. Walaupun sudah membeli dengan Bahasa Sunda, tapi sepertinya harganya masih bisa turun lagi.

Dalam perjalanan pulang, kami pun menyempatkan diri untuk berfoto di depan LAPAN dengan bantuan lampu mobil. Hasilnya ya jadinya gini:

"Pernah ke LAPAN?"
"Pernah"
"Mana buktinya?"
"Nih"

Dalam perjalanan pulang, kami berniat untuk melewati pusat kota Garut, sehingga rute perjalanan pulangnya melewati Cikajang dan kaki Gunung Cikuray. Berhubung masih di pegunungan, perjalanan dari Santolo ke Cikajang tetap naik-turun dan berlika-liku, dengan kondisi jalur yang sepi dan penerangan yang kurang. Ohiya kadang juga garis pembatas antar jalur gak ada, jadi harus hati-hati. Tapi, setelah melewati Cikajang, jalan ke Garut akan jadi lebih ramai dan dilalui berbagai macam kendaraan. Tetep naik-turun dan lika-liku, walaupun gak seekstrem Santolo-Cikajang.

Setelah memutuskan untuk menghabiskan malam di Garut, kami pun beristirahat di Masjid Agung Garut. Parkir dan tidur di sana. Ohiya, masjidnya sebenernya dibuka untuk bisa numpang beristirahat, tapi aku sendiri akhirnya tidur di mobil, hehe. Di dekat masjid agung dan alun-alun Garut, sebenernya ada plang tulisan GARUT, tapi berhubung aku lemah dan lelah, jadinya langsung tidur dan gak kemana-mana.


9 Desember 2019

Setelah sholat subuh, kami memulai pencarian sarapan. Pilihan kami akhirnya jatuh pada warung surabi "Surabi Papandayan" di perempatan Jl. Papandayan, Berbahan dasar seperti surabi pada umumnya, topping yang disediakan di warung ini berbagai macam dengan berbagai harga. Mulai dari telur, cokelat (meises), keju, . Harga surabi per porsinya ada di kisaran Rp 4500-7000, bergantung pada topping yang dipilih. Aku sendiri memilih topping telur, tapi akhirnya kurang cocok. Karena ternyata percampuran bahan dasar surabi dengan telur hasilnya terlalu hambar dan mengenyangkan. Jadi mungkin bagi kalian yang butuh sesuatu yang punya rasa, tidak seharusnya memilih topping telur.

Warung Surabi Papandayan

Setelah menghabiskan sarapan, kami pun beranjak pulang ke Bandung. Karena hari itu adalah hari senin dan sudah waktu orang-orang beraktivitas, jalanannya pun relatif cukup ramai. Berhubung masih sejalur, kami pun memutuskan untuk mampir ke salah satu candi. Yaitu Candi Cangkuang.

Dari jalan utama menuju Bandung, Candi Cangkuang cukup jauh masuk ke pedalaman. Meski begitu, kawasan Candi Cangkuang tetap diurus di bawah kedinasan. Tiket masuk ke Candi Cangkuang seharga Rp 5.000,- per orang dewasa. Yang unik dari candi ini adalah lokasinya yang terletak di tengah-tengah danau. Sehingga bila ingin ke sana harus menyebrang dengan menggunakan rakit. Penyebrangan menggunakan rakit ini tidak gratis, harga yang ditawarkan yaitu 100 ribu PP dengan minimal penumpang 10 dan maksimal 20 orang. Tapi kebetulan pas kami ke sana hanya ada kami ber-5, sehingga sempat bimbang jadi ke sana dengan harga sekian atau enggak. Setelah beberapa lama dalam kebimbangan (ceilah), mamangnya memberikan penawaran baru. Yaitu 50 ribu PP. Kami pun akhirnya jadi ke sana. 

Tiket masuk kawasan wisata Candi Cangkuang

Rakit-rakit yang akan menyebrangkan kita, asal ada uangnya, ehe.


Di kawasan wisata Candi Cangkuang, gak hanya ada candinya aja. Tapi juga ada kampung adat dan museum. Untuk lebih detail-nya:

Kampung Adat: Kampung Pulo
Sebelum menuju Candi Cangkuang, kita bakal ngelewatin kawasan Kampung Pulo, yang merupakan kampung tempat tinggal keluarga keturunan Arief Muhammad (ini Arief Muhammad yang tokoh sejarah ya, bukan youtuber). Kampungnya gak besar, cuma terdiri dari 6 rumah dan 1 mushola, sesuai dengan silsilah keluarga Arief Muhammad. Arief Muhammad sendiri merupakan tokoh yang berperan dalam penyebaran agama Islam di daerah tersebut. Kalau memang kurang jelas, nanti bias tanyain langsung aja ke petugas-petugas yang jaga di museum. Selain kampung tempat tinggal, terdapat juga makam dari Arief Muhammad yang terletak di antara museum dan Candi Cangkuang.


Salah satu rumah adat di Kampung Pulo


Candi Cangkuang
Candi ini adalah Candi Hindu, yang terdiri dari hanya satu bangunan, dengan satu arca di dalamnya. Ketika kami ke sana, hanya bisa sampai di depan pagar, karena pagarnya dikunci. Gak tau kenapa, tapi di arca banyak koin berserakan, sepertinya para pengunjung yang melakukannya. Ahiya, untuk naik ke depan pagar, kita diharuskan melepas alas kaki.



Museum
Puas melihat-lihat candi, bisa langsung mengunjungi ke museum di sebelahnya, yang berbentuk rumah. Selain ada penjelasan tentang proses penemuan dan pemugaran candi, ada juga sejarah dibaliknya, dan peninggalan-peninggalan sejarah. Bukan cuma tentang Candi Cangkuang, tapi museum ini juga menyediakan informasi dan peninggalan yang berkaitan dengan Arief Muhammad. Walau gak terlalu besar, tapi kondisi museum bersih dan rapih. Selain itu petugas-petugas di sana siap membantu apabila butuh informasi lebih lanjut.


Tampak depan museum
Sebagian kecil dari tampak dalam museum


Kesimpulan:
Perjalanan ke Garut ini mungkin bisa jadi pertimbangan bagi yang butuh hiburan dengan waktu yang sempit. Karena sebenernya perjalanan ke Santolo bisa ditempuh dalam waktu 24 jam, kaminya aja yang terlalu lama di pantainya. Atau kalau memang tidak mau terlalu jauh hingga ke ujung selatan, sepertinya kota Garut juga menarik untuk ditelusuri lebih jauh.

HAL PENTING:
Sedih adalah ketika menyusuri Pantai Sayangheulang, banyak banget sampah yang berceceran. Bahkan sampai terbawa ombak :((. Di Pantai Santolo juga ada, walaupun gak sebanyak di Sayangheulang. Selain karena emang orang-orangnya aja yang pada buah sampah sembarangan, tapi mungkin juga penyebabnya adalah kurangnya tempat sampah umum. Jadi untuk pihak pengelola, tolong banget dipertimbangkan untuk menyediakan tempat sampah. Sedangkan untuk para pengunjung, jika mungkin memang tidak bisa tidak memproduksi sampah, mungkin bisa dengan meminimalisir atau menyimpannya terlebih dulu sampah yang dihasilkan.

Sekian ceritaku tentang perjalanan menelusuri sebagian dari Garut. Sampai bertemu di tulisan selanjutnya!



Special Thanks:

Garut, 8-9 Desember 2019

Comments

Post a Comment